The 1st international Conference on Urban History Indonesia 1 DENPASAR: Perkembangan Dari Kota Kolonial Hingga Kota Wisata1 I Ketut Ardhana Abstract The development of Denpasar as a city cannot only be traced back from the 19th century, but also from earlier period in the eighteen century. Prior to the fall of traditional rulers, the region was to be known as Badung, comes from the word “badeng” (meaning dark). This was the perception of Mengwi rulers before Badung was developed as a small region in South Bali. Denpasar itself comes from two words: den means north and pasar means market. The name of the palace was called Denpasar since its location was to the north of the market. This paper will examine how Denpasar has been developed from the fall of Dutch colonial power to the entering of the 21st century. The Dutch rulers had contributed greatly on the development of the city, in which their contribution can still be observed to the present day. Additionally, the rapid development of this city cannot be separated with the processes of modernization and globalization in which international tourism has been the significant element of those processes. This paper, therefore will also specifically address in which way the rapid development of Denpasar has been affected by it position as the capital city of Bali as well as the centre for tourism. A. Pendahuluan Pada umumnya di Asia Tenggara, kita dapat melihat bahwa perkembangan kota-kota modern banyak dibentuk berdasarkan warisan sejarah masa sebelumnya. Dalam kajian tentang masalah perkotaan, beberapa aspek penting yang memainkan peranan penting adalah keadaan demografi, teknologi, organisasi, dan lingkungan. Dengan demikian aspek-aspek itu penting untuk dipahami, karena adanya faktor yang saling kait mengkait (Gist dan Fava, 1964: 52 lihat juga: Nas, 1979: 56-57). Dalam dinamika sejarahnya, banyak kota-kota itu terlahir sebagai akibat pusat-pusat politik tradisional seperti pusat-pusat istana kerajaan, pusat-pusat perkembangan perdagangan seperti di daerah pegunungan, demikian pula di pelabuhan atau wilayah pesisir pantai. Dalam perkembangan selanjutnya tampaknya terjadi pergeseran pusat-pusat perdagangan dari pegunungan ke pantai. Perpindahan itu seringkali terjadi karena dinamika politik, di pedalaman sebagai akibat perkembangan politik di tingkat internal yang menyebabkan keinginan untuk memisahkan diri, maupun serangan dari kerajaan-kerajaan lainnya. Pengalaman sejarah seperti itu dapat kita lihat dari tumbuh dan berkembangnya kota Bangkok di Thailand maupun Badung yang kemudian menjadi Denpasar sebagai pusat perkembangan politik, ekonomi dan budaya di Bali Selatan. Nama Badung juga seringkali dipergunakan untuk menyebut nama wilayah kerajaan itu, yaitu kerajaan Badung, atau kemudian lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Denpasar. Saat ini Badung, selain menjadi nama sungai di wilayah itu, juga dipergunakan sebagai nama pasar, yakni Pasar Badung yang merupakan salah satu pasar terbesar di kawasan itu. Nama Badung juga dipergunakan sebagai sebutan nama kabupaten, yaitu kabupaten Badung. 1 Makalah dipresentasikan pada Konferensi International I Sejarah Kota (The First International Conference on Urban History) di Universitas Airlangga, Surabaya pada tanggal 23-25 Agustus 2004. 2 Secara historis, kabupaten-kabupaten di Bali pada awalnya berasal dari pusat-pusat kerajaan itu yang masing-masing masyarakat lokal di wilayah itu memiliki adat istiadat, sistem subak dan pemerintahan sendiri. Struktur masyarakat di tiap-tiap kabupaten yang berbasiskan desa-desa adat mempunyai wilayah dengan karakteristiknya sendiri yang tidak hanya menentukan pelaksanaan keagamaan, melainkan juga persoalan sosial dan budaya. Keadaan yang demikian bisa dilihat dari keadaan dan kondisi yang ada di Denpasar. Secara geografis, Kota Denpasar mempunyai luas 12.398 km2. Tanahnya merupakan endapan alluvial, yaitu terdiri dari endapan-endapan sungai dan lapukan tanah vulkanik. Denpasar ditetapkan sebagai pusat pemerintahan kabupaten Daerah Tingkat II Badung. Semenjak tahun 1958, Denpasar dijadikan sebagai pusat pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang selanjutnya mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat tidak hanya dalam arti fisik, namun juga secara sosial budaya. Pada periode in kota Denpasar diusulkanlah untuk menjadi kota administratif yang bersamaan dengan pemekaran wilayah kecamatan Denpasar dan Kasiman. Hal ini mengingat dari jumlah penduduk kota Denpasar saat itu yang mencapai 150.000 jiwa, sehingga Kabupaten Badung yang semula hanya memiliki 6 kecamatan sekarang menjadi 7 kecamatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1978, kota Denpasar diubah statusnya menjadi kota administratif yang membawahi tiga kecamatan yakni: Denpasar Barat dengan luas 50,06 km2, Denpasar Timur dengan luas 27,73 km2 dan Denpasar Selatan yang memiliki luas 46,19 km2. Dari sudut tipologi, Denpasar Selatan dan Timur memiliki ketinggian dari permukaan laut yang sama yaitu antara 00-75 meter, sedangkan Denpasar Barat memiliki ketinggian 12-75 meter. Apabila dilihat letak strategis dengan daerah pusat kota, masing-masing kecamatan memiliki jarak yang relatif sama ke pusat kota antara 4-5 km. Kota Denpasar terdapat 16 wilayah kelurahan dan 27 wilayah desa. Selain itu, masih terdapat 35 desa adat dimana desa adat ini dapat meliputi dua desa administrasi atau sebaliknya yang meliputi dua desa adat. Dengan demikian kota Denpasar berperan sebagai ibukota kabupaten, propinsi dan pusat pengembangan industri pariwisata Indonesia Bagian Tengah (Warsilah, 1997: 21-22). Di era modern ini, dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Bali Selatan seperti Tabanan atau Gianyar, tampaknya Denpasar mengalami perkembangan yang menonjol terutama dalam aktifitas ekonomi. Perkembangan di sektor perdagangan misalnya menyebabkan berkembangnya kota-kota baru sebagai pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi. Adanya mobilitas geografis telah mengarah dengan semakin intensnya gerakan mobilitas penduduk seperti urbanisasi (Lihat: Sjoberg 1960: 64). Bagi masyarakat pedesaan yang pemilikan garapan tanah yang sangat rendah akan mengadakan imigrasi ke wilayah perkotaan seperti ke kota Denpasar di Bali Selatan atau ke Singaraja di daerah Bali Utara. Sebagaimana halnya dengan Sumatra dan Jawa, Bali yang wilayahnya juga terdapat deretan gunung api sangat mempengaruhi kesuburan tanahnya. Kondisi alam yang subur menjadi salah satu faktor perkembangan perekonomian Bali. Selain kondisi alam yang demikian, adanya sistem pengaturan air yang baik seperti dilakukan organisasi tradisional seperti subak, telah memungkinkan pula terjadinya sistem pengaturan pengairan yang lebih baik. Sistem aliran sungai Ayung yang melalui kota Denpasar bagian timur dan sungai Badung di Denpasar bagian barat telah memungkinkan wilayah ini dipilih sebagai pusat pemerintahan, baik pada masa kerajaan maupun pada masa kolonial Belanda (Sunaryo, 2003: 198). Bagaimana perkembangan Badung kemudian menjadi Denpasar, akan dijelaskan berikut di bawah ini. 3 B. Perkembangan Awal: Dari Kerajaan Badung Hingga Puri Denpasar Cokorda Ngurah Agung (1989) dalam tulisannya, Lintasan Babad Badung menjelaskan bahwa cikal bakal munculnya kerajaan Badung di Bali Selatan tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan di kerajaan Mengwi. Dalam catatan sejarah terlihat bahwa Mengwi sudah mengklaim Badung sebagai bagian wilayahnya, sebelum Badung dikembangkan menjadi sebuah kerajaan pada abad berikutnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, daerah yang namanya Badung itu, belumlah banyak dihuni orang, sehingga daerah itu dikatakan masih gelap yang dalam bahasa Balinya disebut “badeng” yang berarti gelap. Inilah asal mula perkembangan kata Badung itu. Dari data-data sejarah sejarah dikatakan, bahwa baik interpretasi Belanda maupun Bali setuju kalau penguasa-penguasa Mengwi, maupun penguasa-penguasa Badung yang muncul kemudian merupakan keturunan bangsawan Jawa, terutama Arya Damar yang sering dikenal sebagai Arya Kenceng ketika Majapahit berkembang pada abad ke-14. Gelgel disebut sebagai pusat kerajaan pertama yang mempunyai pengaruh Majapahit di Bali. Pada akhir abad ke-17 (1686-1687) pecahlah pembrontakan di Gelgel yang memberi banyak pengaruh pada peta politik kekuasaan di Bali. Antara lain dapat disebutkan adanya struktur kekuasaan kerajaan yang terdesentralisasi, sementara dalam perkembangan selanjutnya kemunculan Klungkung dan beberapa kerajaan yang lebih kecil lainnya seperti Badung di Bali Selatan ini lebih mendekati struktur federasi. Inilah fase awal perkembangan kerajaan yang kemudian berkembang menjadi pusat-pusat kerajaan dan akhirnya membemtuk pusat-pusat kota di era perkembangan Bali modern. Nama Badung menjadi semakin terkenal dalam sejarah Bali pada waktu itu, yakni saat tampilnya tokoh Jambe Pule, bangsawan Badung yang terlibat dalam pertempuran untuk menyerang kekuasaan Gelgel. Pada waktu itu, Badung diperkirakan hanya sebagai kerajaan kecil yang baru berkembang, karena hanya Gelgel lah yang dipercaya menjadi satu-satunya kerajaan yang memainkan peranan penting di Bali (sesuhunan). Helen Creese, sebagai seorang ahli sejarah Bali menyebut periode ini sebagai fase akhir dari sistem politik lama dan mulai berkembangnya sistem politik yang baru (Creese, 1991: 237). Periode ini diikuti dengan semakin munculnya kerajaan-kerajaan yang lebih besar seperti Karangasem, Buleleng dan Mengwi (Schulte-Nordholt, 1988: 23). Sementara itu, kerajaan Badung semakin berkembang akan tetapi tetap di bawah kontrol Mengwi. Sekitar tahun 1700-an, kerajaan Badung dikatakan menjadi bagian dari kerajaan Mengwi. Di samping kerajaan Badung juga muncul kerajaan kecil lainnya seperti kerajaan Tegal, kerajaan Alang Badung, (sekarang termasuk wilayah Alang Kajeng), yang pada waktu itu masih berada di bawah supremasi kerajaan Mengwi. Pada tahun 1780 telah muncul konflik antara Badung dengan Mengwi karena dominasi politik yang dilakukannya. Selain itu, memang dapat diinterpretasikan konflik itu muncul sebagai akibat keinginan penguasa Badung untuk dapat mandiri terlepas dari kontrol politik Mengwi (Geertz, 1980). C. Lekkerkerker dalam bukunya “Bali en Lombok: Overzicht der Litteratuur omtrent deze eilanden tot einde 1919”, menyatakan bahwa dalam kurun waktu itulah Badung semakin berkembang di Bali Selatan (C. Lekkerkerker 1920: 192). Alasan yang diajukan oleh Lekkerkerker adalah bahwa pada saat itu seorang yang berasal dari Dinasti Kaleran (Pamecutan) dapat membunuh seorang penguasa di Ksatria. Kemudian pada tahun 1800 ada upaya untuk memindahkan pusat kekuasaan Badung itu oleh Dinasti Pamacutan pada suatu daerah yang masih merupakan taman bunga (Lihat: Silsilah Puri Satria, naskah milik puri Satria Denpasar). Kemudian lokasi kerajaan ini dalam sumber-sumber arsip sejarah sering 4 disebut dengan Puri Denpasar yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Pamacutan (C. Lekkerkerker 1923). Selanjutnya diupayakanlah pembenahan administrasi kerajaan, diikuti dengan berbagai interaksi yang diwakili oleh Kasiman, puri Pemecutan dan beberapa puri lainnya sebagai kerajaan yang memainkan peranan penting dalam aktifitas perdagangan di Bali pada abad ke-19 (Schulte-Nordholt, 1988: 13). Kemunculan Kasiman ini dapat dilihat akibat sikap meremehkan yang dilakukan oleh oleh penguasa Pamacutan dan Denpasar. Itulah sebabnya puri Kasiman yang berada di sebelah timur mengadakan kontak persahabatan dengan Belanda. C. Denpasar: Dari Kota Puri Hingga Kejatuhannya Ke Tangan Kolonial Ada perubahan-perubahan pandangan yang muncul menyangkut peta kekuasaan di Bali pada abad ke-18 dan 19. Disebutkan bahwa raja-raja yang baru muncul itu, masih mengakui raja-raja tertinggi di Klungkung tidak dalam kapasitasnya sebagai pimpinan politik, tetapi Dewa Agung di Klungkung hanya dianggap sebagai pemimpin religius atau sebagai keturunan raja-raja Majapahit (Sidemen, 1983: 7). Raja-raja itu mengklaim dirinya sebagai pemegang kekuasaan independen atau sebagai sebuah “negara merdeka”. Mengacu pendapat Tambiah (1985), Creese (1993: 30), berpendapat bahwa Bali pada masa itu mengikuti struktur pemerintahan galaksi (galactic polity). Klungkung sebagai pusat, dikelilingi oleh daerah kekuasaan raja-raja kecil lainnya yang secara politik independen, namun tetap membayar upeti. Sejak abad ke-17 kontak-kontak persahabatan dengan orang asing di Bali yang dikenal sebagai wong sunantara, nusantara diadakan semakin meningkat. Kontak-kontak perdagangan antara Badung dengan orang asing misalnya dapat dilihat pada perkembangan kerajaan Badung pada abad ke-19. Pada saat itu, raja Kesiman yang berperan sebagai raja Badung telah memainkan peranan yang dominan. Perkembangan ini tampaknya mempercepat kerajaan Badung berkembang menjadi pusat perdagangan di Bali Selatan. Misalnya dengan diangkatnya seorang Denmark menjadi subandar (penguasa pelabuhan) di Kuta, Badung sekitar pertengahan abad ke-19 (1832). Hubungan kontak perdagangan semakin intensif dilakukan karena berkaitan dengan persoalan tawan karang. Berkembangnya pusat perdagangan di Bali Selatan seperti yang dilakukan oleh pedagang-pedagang asing seperti Cina di Kuta menyebabkan semakin cepatnya perkembangan Badung sebagai pusat istana. Akan tetapi, pada akhir abad ke-l9 aktifitas perdagangan di Kuta mengalami kemunduran. Para saudagar Cina berkurang jumlahnya, begitu juga banyak gudang yang dimiliki Cina menjadi kosong. Hal ini menyebabkan kerajaan Badung tidak lagi mengontrakkan penarikan bea cukai. Sebaliknya pelabuhan Sanur menunjukkan perkembangannya, demikian pula pemungutan bea dan cukai masih berjalan, berupa barang yang diperdagangkan (“Gegeven betreffende Zelfstandige Rijks op Bali”, 1906: 12). Adapun yang menyebabkan berkembangnya Sanur adalah secara geografis Sanur berdekatan dengan pusat istana puri Denpasar. Inilah yang menyebabkan mengapa Belanda memilih Sanur sebagai tempat berlabuh bagi kapal-kapal perang mereka. Adanya perkembangan yang dialami oleh Sanur menyebabkan kemunduran-kemunduran yang dialami oleh Kuta. Hal ini dapat dilihat dengan semakin sering munculnya pedagang-pedagang dari Surabaya. Pentingnya peranan Sanur dapat dilihat pula ketika Belanda mulai melancarkan serangan ekspedisinya ke Badung pada tanggal 15–16 September 1906. Penyerangan terhadap kota Denpasar dilakukan pada tanggal 17 September 1906. Tempat-tempat strategis seperti kampung Sanglah dikepung pada tanggal 18 September 1906 dan akhirnya membuka 5 peluang untuk menaklukkan benteng Kesiman dan Kayumas pada tanggal 19 September 1906. Dengan jatuhnya Kayumas akhirnya Belanda menaklukkan puri Denpasar pada tanggal 20 September 1906. Perkembangannya selanjutnya adalah sebagaimana halnya dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda pada umumnya, kita melihat suasana penerapan kebijakan pemerintah kolonial di berbagai bidang kehidupan seperti sosial, budaya, politik dan ekonomi yang akhirnya menunjang perkembangan kota Denpasar. Tidak hanya di Bali, seperti kota Denpasar, pada daerah-daerah lain yang pernah dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda tampaknya memiliki persoalan-persoalan perkotaan yang sama. Sajana Cahyanta, yang menjabat sebagai Kepala Bappeda Bali menjelaskan bahwa hampir sebagian kota peninggalan penjajahan Belanda tidak memiliki urban design (perencanaan perkotaan) tidak terkecuali di Bali. Diserbutkan bahwa satu-satunya kabupaten yang memiliki urban design hanya kabupaten Singaraja di Bali Utara. Seiring dengan perkembangan sosial, ekonomi, politik tampaknya menjadi alasan bagi pemerintah untuk menetapkan kota Denpasar menjadi ibu kota propinsi Bali pada masa-masa selanjutnya (Lihat: “Denpasar, Kota Tanpa Urban Design”, 2004: 2). D. Perkembangan Kota Denpasar Hingga Memasuki Awal Abad ke-21 1. Perkembangan Sosial Dengan melihat latar belakang perkembangan Denpasar yang pada mulanya sebagai pusat istana atau puri kemudian dewasa ini berkembang sebagai pusat kota modern dapat dilihat ciri perkembangnya sebagai berikut. Terdapat ciri fisik kota yang dapat dianggap menjadi ciri khusus kota Denpasar yaitu adanya bangunan-bangunan tradisional seperti pura (bangunan suci bagi umat Hindu di Bali), puri (tempat kediaman bagi bangsawan Bali) dan bangunan-bangunan lain yang berfungsi untuk kepentingan pemerintah, umum, maupun yang dimiliki oleh tiap-tiap kelompok masyarakat. Terdapat beberapa pura di kota Denpasar seperti pura Melanting, pura Gaduh, pura Ubung dan pura Suci. Hal ini dapat dimengerti karena mayoritas penduduk kota Denpasar sebagai etnis Bali yang beragama Hindu. Masyarakat Bali pada umumnya sebagai kolektiva yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya, yaitu kebudayaan Bali. Kesadaran ini diperkuat oleh keberadaan bahasa yang sama yaitu bahasa Bali. Sebagai orang Bali mereka sangat terikat dengan keluarga, klen, banjar, desa, subak dan sebagainya. Sebagaimana diketahui bahwa orang Bali terikat pada beberapa hal dalam kehidupan sosialnya yaitu: kewajiban dalam melakukan pemujaan terhadap pura tertentu, pada suatu tempat tinggal bersama, pada pemilikan tanah pertanian dalam subak tertentu, pada suatu status sosial atas dasar kasta, pada ikatan kekerabatan atas hubungan darah dan perkawinan, pada keanggotaan terhadap sekaha tertentu dan pada suatu kesatuan administrasi tertentu (Lihat: Sunaryo, 198 yang mengutip “Schets van Den Pasar”, 1961). Keterikatan masyarakat dengan puri misalnya dapat kita lihat di Denpasar yaitu bahwa masyarakat terikat dengan empat puri besar yang berperanan penting yaitu puri Denpasar, Pamacutan, Satria dan Kasiman. Diantara puri-puri itu, terdapat dua puri yang memainkan peranan penting yaitu puri Kesiman dan puri Denpasar (Lihat: Sunaryo, 198, yang mengutip H van Kol, 1914: 385-407). Melalui sentra-sentra kekuasaan itulah kemudian berkembangnya kota Denpasar seperti dapat dilihat tidak hanya pada penerapan kebijakan pemerintah kolonial Belanda tetapi juga dalam periode selanjutnya yang mencakup pengembangan aspek ekonomi, politik, sosial budaya atau pendidikan (Ardhana, 2004). 6 Ketika era kolonial Belanda, tampak terlihat adanya pengaruh-pengaruh kekuasaan pemerintah kolonial di Batavia sampai ke daerah-daerah dalam hal ini sistem pemerintahan yang berpusat di kota Denpasar. Dalam struktur pemerintahan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial tampak bahwa jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan dipegang oleh orang-orang Belanda yaitu resident, assistent resident, controleur dan sebagainya. Pemerintah kolonial menyadari akan ketidakmampuannya untuk memahami dengan baik keadaan dan kemampuan rakyat yang dikuasainya sehingga memerlukan bantuan orang-orang pribumi. Jabatan di bawah assisten resident yaitu raja, punggawa, perbekel, kelian dan sebagainya dipegang oleh orang-orang pribumi. Kepala pemerintahan regional yaitu resident merupakan pejabat tertinggi di wilayah karesidenan Bali dan Lombok. Karesidenan Bali dan Lombok terbagi dalam tiga afdeeling yaitu afdeeling Bali Utara, Bali Selatan dan Lombok. Dalam menjalankan pemerintahannya residen didampingi oleh suatu badan yang disebut Paruman Agung. Badan ini dibentuk oleh Dewan Raja-raja di Bali diketuai oleh resident dan assisten resident Bali Selatan yang berkedudukan di kota Denpasar, sebagai wakil ketua, sedangkan anggotanya meliputi para raja dari delapan kerajaan di seluruh Bali. Tugas assisten resident adalah mengatur dan menjalankan pemerintahan di daerahnya. Karena fungsi yang dimiliki oleh kota Denpasar ini, memungkinkan perkembangan fasilitas yang semakin terlihat dari kebijakan pemerintah kolonial itu. Kota Denpasar sendiri termasuk wilayah onderafdeeling Badung. Untuk mengembangkan kebijakannya pemerintah kolonial berupaya mengembangkan kota Denpasar untuk menjadi kota kolonial (colonial city). Dalam hal ini diterapkannya sistem birokrasi kolonial dimana pemerintah kemudian membangun kantor-kantor pemerintahan. Selain itu, pemerintah kolonial berusaha membangun berbagai sarana untuk kepentingan umum seperti rumah sakit, pos polisi, sarana pertanian, perdagangan dan sebagainya. Keadaan yang demikian menuntut pengembangan kota yang didasari atas perencanaan pengembangan kota secara lebih memadai baik dari segi sosial maupun fisik kota. Dapat dilihat bahwa dari segi sosial ekonomi diusahakan dengan membangun dan memperbaiki sarana dan prasarana umum untuk kemajuan masyarakat. Penempatan berbagai perkantoran, rumah-rumah pejabat pemerintah, pemukiman penduduk, kawasan wisata merupakan bagian dari usaha pemerintah kolonial untuk menata perkembangan kota Denpasar (Soenaryo, 2003: 219). Dalam hal pendidikan tampak pengaruh politik etis sangat dirasakan. Pemerintah kolonial misalnya tidak hanya mereformasi struktur pemerintahan orang Bali, tetapi juga mulai mendirikan sekolah-sekolah. Tujuannya adalah untuk mendukung perkembangan sistem birokrasi kolonial. Setahun setelah berakhirnya puputan pemerintah kolonial Belanda sudah mengintroduksi sekolah-sekolah untuk penduduk pribumi di Denpasar, dan juga beberapa tempat di Bubunan (Singaraja) dan di Gianyar, meskipun tidak banyak anak-anak pribumi yang menginginkan pergi ke sekolah. Misalnya saja seperti berikut: It should be noted that at that time, there were few people who wished to go to school. Parent had still not grasphed the significance of going to school, and preferred to see their children working in the fields and developing their hobby of cock-foghting (Lintasan, 13, cf. Ardhana 1993: 35). Keruntuhan kerajaan Badung menyebabkan terjadinya pemusatan kekuasaan di kota yang kemudian dikenal dengan nama kota Denpasar. Nama Denpasar berasal dari nama puri Denpasar. Disebut Denpasar karena letak puri berada di sebelah utara pasar. Dalam hal ini den berarti utara dan pasar berarti pasar dimana orang melakukan transaksi perdagangan. 7 Sejak itu, Denpasar mulai mendapat perhatian pemerintah Belanda dengan mulai didirikannya bangunan-bangunan pemerintahan, pusat ekonomi dan sosial budaya. Soenaryo (2003, 1999) menulis bahwa di tengah-tengah kota Denpasar dibangun tempat rekreasi kota seperti Museum Bali yang terletak di sebelah timur lapangan puputan Badung. Pada tahun 1910 misalnya dibagilah wilayah Keresidenan Bali dan Lombok menjadi empat afdeeling yaitu Buleleng, Jembrana, Bali Selatan dan Lombok. Bekas-bekas kerajaan yang berada di Bali selatan memperoleh status onderafdeeling dan di tiap-tiap onderafdeeling diperintah langsung di bawah seorang controleur. Afdeeling dan onderafdeeling membawahi distrik-distrik dan onderdistrik. Jumlah distrik dari tahun 1906 sampai 1937 mengalami beberapa perubahan akibat reorganisasi pemerintahan (Wirawan, 1985: 81-82). Tidak hanya dalam hal perluasan pembagian afdeeling, pembangunan sekolah-sekolah dan tempat budaya seperti Museum Bali juga dilakukan. Adapun jumlah sekolah-sekolah di Denpasar tahun 1919-1941 adalah sebagai berikut: Tabel 1 Jumlah Sekolah di Denpasar 1919-1941 Jenis sekolah 1919 1929 1932 1936 1937 1941 Tweede Inlandsche School 2 5 6 6 6 6 Volkschoolen 3 20 22 34 34 35 HIS 1 1 2 2 2 2 Ambachtsleergang - - - - - 1 Meijessjes Vervolgschool - - - - - 1 Vervolgschool - - 2 2 2 8 Vakonderwijs - - 5 5 5 16 Huishoudschool - - - - - 1 Landbouwschool - - 1 1 1 1 Particulier Onderwijs - - - 1 1 1 Sumber: J. J. E. Moll, Memorie van Overgave van den Resident op Bali en Lombok (Mei 1941: 80-84). Museum Bali misalnya dibangun pada tahun 1910 pada saat yang bersamaan dengan dibuatnya perluasaan afdeeling di Bali. Asisten Resident Bali dan Lombok pada waktu itu, W. J. F. Kroon yang berkedudukan di Singaraja dikatakan sangat memberikan perhatian yang besar untuk berdirinya Museum itu. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu, sudah banyak benda-benda budaya Bali yang diangkut ke luar negeri. Selain Museum Bali, juga dibangun museum di Sanur yang dipimpin oleh A. J. Le Mayeur pada tahun 1937. Peranan puri tampak masih dominan dalam perkembangan kota Denpasar. Hal ini terlihat dengan dominasi dari kalangan kaum bangsawan terhadap penguasaan tanah maupun dalam menerima cara produksi baru khususnya bidang perdagangan. Masuknya cara produksi baru menyebabkan masyarakat Denpasar semakin terbuka pula keinginannya untuk membuka usaha dagang yang sementara ini hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence). Sebelum sektor perdagangan masuk dapat dilihat berkembangnya industri kerajinan tangan, menganyam, menenun, mengukir, membuat alat rumah tangga, memelihara ternak dan sebagainya. Perkembangan kota Denpasar sejak masa kerajaan, kolonial hingga kemerdekaan telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan kota itu dewasa ini. Di samping terdapatnya pelabuhan Benoa, kota Denpasar berkembang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Bali secara keseluruhan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap dinamika politik, perdagangan di Denpasar. Sebagai kota yang mempunyai pelabuhan Kuta di abad ke-19 dan 8 sekarang Benoa, menyebabkan terjadinya persaingan-persaingan di kalangan pedagang-pedagang asing. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1990, bahwa kota Denpasar memiliki penduduk sebanyak 350.524 jiwa yang terdiri atas 181.313 laki-laki dan 169. 211 wanita. Jumlah kepala keluarga 71.371 kk, yaitu Denpasar Selatan: 83. 699 (15.624 kk), Denpasar Timur: 110.421 (22.920 kk), Denpasar Barat: 156.404 (32.827 kk). Tabel 2 Penduduk Kota Denpasar Per Kecamatan Menurut GolonganUmur Tahun 1994 Umur Denpasar selatan Denpasar Timur Denpasar Barat Jumlah 0-4 6.520 8.856 13.185 28.561 5-9 6.897 8.635 13.592 29.124 10-14 7.432 9.353 14.295 31.080 15-24 25.160 33.071 44.607 102.838 25-49 30.249 39.651 56.900 27.000 50+ 7.441 10.655 13.825 31.921 Jumlah 83.669 110.655 156.404 350.524 Sumber: Warsilah 1997: 20, Denpasar Dalam Angka 1994. Tabel 3 Denpasar Menurut Agama tahun 1994 Agama Denpasar Selatan Denpasar Timur Denpasar Barat Jumlah Hindu 76.570 94.230 117.605 288.405 Islam 4.946 12.146 24.750 41.842 Budha 640 1.890 40.036 6.596 Protestan 912 206 6.172 7.299 Katolik 601 1.949 3.841 6.391 Jumlah 83.699 110.421 156.404 350.524 Sumber: Warsilah, 1997: 31: Denpasar Dalam Angka 1994 Kepadatan penduduk di kota Denpasar yaitu 2.827 jiwa/ km2. Dibandingkan dengan Denpasar Selatan dan Denpasar Barat tampak Denpasar Timur memiliki kepadatan penduduk yang paling tinggi yaitu 3.892/km2 dan tingkat kepadatan terendah di Denpasar Selatan 1.812 jiwa/km2, sementara Denpasar Barat kepadatan penduduknya berjumlah 3.124 jiwa/ km2. Jumlah penduduk Denpasar misalnya tahun 1991: 324.573 (1,24%) setahun kemudian 1992: 335.196 (3,27%). Laju pertumbuhan penduduk kota Denpasar dapat dikatakan sangat tinggi sekitar 24%. Selanjutnya dapat dilihat peran kota Denpasar sebagai tempat konsentrasi penduduk. Jumlah penduduk kota Denpasar dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 4 Persentase Penduduk Kodya Denpasar Menurut Kelompok Umur Kelompok umur Denpasar Selatan Denpasar Timur Denpasar Barat 0-4 7,79 8,02 8,43 5-9 8,24 7,82 8,69 10-14 8,88 8,47 9,14 15-19 13,51 13,85 13,46 20-24 16,55 16,10 15,06 25-29 12,24 12,48 12,13 30-34 8,70 8,34 8,65 9 35-39 6,92 6,43 7,07 40-44 4,76 4,75 4,73 45-49 3,52 4,09 3,80 50-54 2,69 3,06 2,77 55-59 1,73 1,95 1,81 60+ 4,47 4,64 4,26 Jumlah penduduk kodya Denpasar: 83.699 110.421 156.404 345.021 100 100 100 Sumber Warsilah, 1997: 28 Cf. Hasil Sensus Penduduk Tahun 1990, BPS Denpasar 2. Perkembangan Ekonomi Sebagaimana diketahui bahwa sejak masa kolonial Belanda terutama setelah tahun 1906, tampak etnis Cina memainkan peranan penting dalam perkembangan kota Denpasar. Pengaruh mereka itu dirasakan tidak hanya di kota tetapi juga di pedesaan terutama dalam kaitannya dengan distribusi barang dan pemasaran yang dilakukannya. Pedagang-pedagang Cina yang berperan sebagai pedagang kelontong berubah menjadi pembawa barang dan pemberi kredit. Sistem uang pancar mulai diperkenalkan yang menyebabkan masyarakat Denpasar mulai lambat laun meninggalkan profesi sebagai petani menjadi pedagang. Ada beberapa catatan tentang bagaimana marginalnya petani-petani di Bali pada umumnya dan di Denpasar pada khususnya. Di Denpasar atau di Badung misalnya rata-rata pemilikan tanah sekitar 0,45 hektare untuk sawah dan 0,52 hektare untuk tanah kering. Sebagai perbandingan dengan wilayah kabupaten lainnya seperti Gianyar, misalnya rata-rata pemilikan tanah 0,48 hektar untuk sawah dan 0,45 hektar untuk ladang. Inilah yang mendorong petani untuk mengadakan urbanisasi ke kota untuk mencari lapangan pekerjaan yang baru. Pada umumnya diakui bahwa faktor utama yang mendorong mereka mengadakan urbanisasi adalah adanya beban-beban pajak seperti pajak pasar dan pajak pemotongan hewan yang dirasakan sangat membebani mereka. Untuk menghindari kewajiban-kewajiban itulah mereka akhirnya mengadakan urbanisasi dan memasuki dunia sektor perdagangan. Situasi krisis ekonomi muncul ke permukaan setelah terjadinya “malaise” pada tahun 1930-an. Alasan munculnya krisis ini adalah merosotnya harga bahan mentah sebagai barang ekspor penting di Hindia Belanda. Di tingkat lokal Denpasar, tampaknya kemerosotan itu juga sangat berpengaruh, misalnya saja perubahan bidang kontrak bagi hasil antara tuan tanah dan petani penggarap. Petani penggarap memperoleh setengah dari hasil panen ditambah kewajiban membayar pajak dari hasil panen. Hal ini dipersulit lagi, karena kesulitan memperoleh uang bagi masyarakat lapisan bawah. Misalnya saja bagi petani yang mengalami kesulitan menyelenggarakan upacara adat seringkali menggadaikan tanahnya kepada orang-orang kaya atau kepada bank sebagai jaminan. Selanjutnya mereka tidak mampu lagi membayar pajak tanah. Terlebih-lebih bagi petani yang menunggak pajak kemudian tanahnya dilelang dengan harga rendah. Dwipayana (2001: 160) mencatat bahwa diantara mereka yang berhasil membeli lelang tanah ini adalah pegawai negeri yang diwajibkan memungut pajak tanah yaitu punggawa, sedahan agung dan perbekel. Hal ini menyebabkan mereka semakin kaya dengan hasil-hasil lelang itu. Inilah beberapa alasan mengapa mereka mengadakan urbanisasi ke kota Denpasar, dalam upaya mencari lapangan pekerjaan baru. Keinginan untuk meraih rejeki di kota tampaknya menjadi kenyataan, terutama setelah perkembangan kota Denpasar sejak tahun 1970-an. Introduksi dunia kepariwisataan oleh pemerintah kolonial Belanda di tahun 1920-an telah menjadi dasar pengembangan 10 industri pariwisata di Bali pada umumnya dan di kota Denpasar pada khususnya. Hal ini misalnya dapat dilihat dengan dimulainya pembangunan Hotel Bali Beach pada tahun 1969, Airport Ngurah Rai tahun 1969, dan pembangunan kawasan Nusa Dua tahun 1971 (Ardhana, 2003: 33). Pembangunan infrastruktur itu menyebabkan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke Bali. Menurut Biro Statistik Pemerintahan Propinsi Bali terdapat jumlah kunjungan wisatawan seperti tahun 1969 hanya sekitar 11.278 jiwa, meningkat menjadi 120.008 pada tahun 1971 (Ardhana: 2001, 5). Untuk menunjang industri pariwisata itu, maka diikutilah dengan pembangunan fasilitas-fasilitas utama lainnya seperti pembangunan hotel, resturant dan pusat-pusat hiburan lainnya. Pada tahun 1990-an misalnya pendatang yang memasuki kota Denpasar berasal dari suku Bali sendiri dengan alasan mencari peluang pekerjaan untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Hasill penelitian yang dilakukan Pusat Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI tahun 1997 (Warsilah 1997: 46) misalnya menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti karena kota Denpasar menjadi penyangga untuk daerah sekitarnya. Disebutkan bahwa para migran itu berupaya mendapatkan fasilitas pekerjaan di kota Denpasar melalui jaringan etnisitas kedaerahan, jaringan keluarga melalui peningkatan kualitas pendidikan mereka. Data berikut menunjukkan alasan para migran datang ke kota Denpasar. Tabel 5 Alasan Pindah Ke Kota Denpasar Nomor Alasan Pindah Persentase 1 Karena pekerjaan 25 2 Perbaikan ekonomi 7 3 Dekat dengan keluarga 3 4 Suasana dan lingkungan cukup baik 3 5 Diajak teman 1 6 Asli daerah sini 61 Sumber: Warsilah 1997: 46. Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas yang datang ke kota Denpasar untuk mencari lapangan pekerjaan. Hal ini dimungkinkan karena perkembangan Denpasar sebagai pusat pariwisata di Indonesia Bagian Tengah. Industri pariwisata di Bali telah menghasilkan Rp. 421.85 milyar pada sektor pemungutan pajak pada tahun 2001. Industri pariwisata ini telah mampu menyerap sekitar 38% dari sumber daya manusia di tingkat propinsi Bali. Untuk kabupaten Badung dan khususnya kota Denpasar terdapat kelebihan pemasukan-pemasukan dari pengembangan industri pariwisata ini, dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di Bali. Kabupaten Badung sendiri misalnya akan menerima dari sektor pemungutan pajak sekitar Rp. 314 milyar pada tahun 2001, dibandingkan dengan kabupaten Bangli (sebagai kabupaten yang terletak dekat dengan kabupaten Badung) yang hanya menerima Rp. 0, 42 milyar (Ardhana, 2002: 81). Adanya peluang-peluang pendapatan ini menyebabkan kota Denpasar telah ikut menciptakan peluang pekerjaan dalam upaya memajukan perkembangan dan kemajuan perkotaan. E. Prospek Perkembangan Kota Denpasar Sebagaimana halnya dengan perkembangan kota-kota di Indonesia pada umumnya, perkembangan kota Denpasar pada khususnya mengalami persoalan-persoalan fisik kota 11 yang sama. Hal ini terlihat dari tidak tertatanya dengan baik masalah infrastruktur kota. Tanpa pembenahan yang maksimal terhadap tata ruang, misalnya dapat dikatakan kota Denpasar masih belum siap menghadapi persoalan-persoalan global. Hal ini dapat dimengerti karena pada awalnya Denpasar hanyalah sebuah desa. Dengan demikian volume fisiknya tentu setara dengan sebuah desa. Kemajuan yang tidak terkendali tampak membuat semakin parah penataan masalah-masalah perkotaan, karena kota Denpasar sama sekali tidak memiliki urban design. Satu contoh yang penting adalah persoalan perpakiran yang menjadi kendala utama masalah penataan kota Denpasar. Hal ini tidak terlepas dari perjalanan panjang kota Denpasar, yang belum memikirkan persoalan penataan kota modern. Dengan demikian tampaknya cukup sulit mengadakan perbaikan. Kepala Bappeda Bali, Sajana Cahyanta mengilustrasikan sebagai berikut. “Jika hendak mengubah rumah yang sudah jadi sesuai dengan keinginan anda tentunya sangat sulit bila dibandingkan dengan anda mendesain sebuah rumah di atas lahan yang kosong. Tentunya dengan lahan kosong anda bebas membangun rumah sesuai dengan keinginan anda. Sama halnya dengan kota Denpasar. Bagaimanapun kita tidak akan dapat mengubah apa yang telah ada. Juga sangat tidak mungkin melakukan pembenahan terhadap jalan-jalan yang telah tersedia” (Lihat: “Denpasar, Kota Tanpa Urban Design”: 2004: 2). Namun demikian, ada satu solusi yang diharapkan memecahkan persoalan seperti meminimalisasikan laju pertumbuhan kendaraan di kota Denpasar. Adanya pertumbuhan kendaraan bermotor mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2000 misalnya jumlah kendaraan roda empat mencapai 80.193 unit, setahun kemudian pada tahun 2001 jumlahnya mengalami peningkatan mencapai 83.522 unit. Dengan demikian, pertumbuhan mobil dalam setahun mencapai 3.329 unit. Untuk sepeda motor misalnya, pada tahun 2000 mencapai jumlah 206.346 unit dan pada tahun 2001 jumlahnya meningkat menjadi 245. 552 unit. Pertumbuhan sepeda motor pertahunnya mencapai 39.206 unit. Apabila pertumbuhan kendaraan roda empat stabil, maka akhir tahun 2004 jumlah kendaraan roda empat diperkirakan mencapai 845.509 unit dan jumlah sepeda motor mencapai 363.170 unit. Namun demikian, Gunanjar, seorang Direktur Eksekutif Yayasan Manikaya Kauci menilai persoalan parkir di Bali pada umumnya, tidaklah sepelik kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo dan Yogyakarta (“Jangan Tunggu Bom waktu”, dalam Koran Pak Oles: 2004, 1). Ada memang imbauan agar setiap orang mengurungkan diri membeli kendaraan. Akan tetapi hal ini tampaknya tidak memungkinkan untuk membendung pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu upaya memaksmimalkan penggunaan public transport dengan tidak hanya menyerahkan persoalan ini kepada masyarakat, tetapi juga pemerintah daerah harus berperan aktif memberikan subsidinya (Lihat: “Denpasar, Kota Tanpa Urban Design”: 2004: 2). Meskipun penataan kota sudah dilakukan namun karena pemukiman dan jalan-jalan sudah ada terlebih dahulu, menyebabkan penataan kota kurang dapat dilakukan dengan baik. Secara fisik budaya, kota Denpasar sudah mengalami pergeseran yang kurang mencerminkan kota budaya. Misalnya saja dalam peraturan-peraturan daerah sudah dijelaskan bahwa bangunan penduduk yang menghadap ke jalan raya mestinya bernuansa Bali. Akan tetapi itu, baru dalam tingkat perbincangan wacana. Adanya perkembangan “hutan” perkotaan seperti pembangunan mal, pertokoan dan swalayan menyebabkan kota Denpasar identik dengan 12 kota shopping center. Adanya pembangunan rumah dan toko (ruko) yang mengabaikan telajakan membuat wajah kota Denpasar menjadi berubah. Dalam hal ini wajah itu kurang mencerminkan “kebaliannya”. Telah disadari bahwa memang Denpasar sebagai ibu kota provinsi, telah dirancang melalui pembangunan civic center dengan karakteristik arsitektur tradisionalnya di kawasan Renon, sebagai sebuah kawasan yang dapat mencerminkan ciri khas “kebalian” orang Bali. Akan tetapi, di luar wilayah itu telah berdiri berbagai bangunan yang mengganggu pembangunan tata ruang kota, berkaitan dengan kebijakan menerapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam hal ini masih belum ditegaskan secara pasti mana zoning untuk pelestarian budaya, pemukiman, pusat perbelanjaan dan sebagainya (Lihat: Multikultur Kota Denpasar: Penampilan Fisik Minus Cerminan Budaya”, dalam Bali Post 21 Februari 2004). Pengaturan tatakota seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah kolonial sebenarnya dapat diambil sebagai pelajaran bagaimana sulitnya penataan kota. Oleh karena itu, perlunya rencana induk kota yang direncanakan dengan baik berdasarkan potensi dan kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang. Di samping itu, perlunya adanya konsistensi dan kontrol yang ketat agar masyarakat dapat terus mentaati peraturan yang telah ditentukan oleh pemerintah (Soenaryo, 2003: 219). F. Kesimpulan Dalam perkembangan sejarahnya, dapat dikatakan bahwa terbentuknya kota Denpasar tidak dapat terlepas dari pemahaman kita tentang munculnya pusat-pusat kerajaan yang ada sebelumnya di Bali Selatan. Seperti misalnya munculnya kerajaan Mengwi yang menjadi dasar awal perkembangan sebelum munculnya kerajaan Badung. Setelah Mengwi dapat dikalahkan oleh kerajaan Badung, kemudian berkembanglah kerajaan di Badung itu yang terdiri dari puri Denpasar, puri Pamacutan dan puri Kasiman. Nama puri Denpasar lah kemudian yang dipergunakan sebagai nama kota Denpasar. Hal ini dapat dimengerti karena puri Denpasar sebagai puri yang terbesar sebelum jatuhnya puri itu lke tangan Belanda. Perkembangan Denpasar tidak hanya didukung oleh puri Denpasar itu sendiri, tetapi juga oleh ke dua puri lainnya itu. Di Denpasar pusat-pusat istana itu telah memainkan peranan yang penting sehingga menjadi pusat-pusat perdagangan, sosial budaya dan pemerintahan. Dengan munculnya kekuasaan kolonial Belanda juga mengembangkan pertumbuhan kota Denpasar tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga pusat pendidikan, kebudayaan. Dalam era kolonial inilah banyak perubahan yang terjadi seperti penataan lembaga-lembaga pemerintahan tradisional ke dalam pemerintahan kolonial. Ketika berakhirnya kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda, pusat-pusat perkembangan itu pun tetap dipertahankan dan menjadi pusat pemerintahan di era kemerdekaan. Banyak tantangan yang dihadapi semenjak Denpasar menjadi ibu kota provinsi. Hal ini disebabkan dengan semakin banyaknya persoalan sebagai akibat proses migrasi yang begitu cepat, ketika Bali umumnya dan Denpasar sebagai pusat industri pariwisata di Indonesia Bagian Tengah. Yang menjadi masalah sekarang ini adalah tidak adanya perencanaan yang matang berkenaan dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh Denpasar di masa yang akan datang, seperti masalah transportasi yang belum mempunyai konsep yang jelas, terjadinya peningkatan jumlah perumahan kumuh, perencanaan penggunaan tata ruang yang terkendali, sebagai akibat meningkatnya jumlah pendatang yang semakin meningkat. VII. Bibliografi 13 Agung, Ida Cokorda Ngurah. “Lintasan Babad Badung”. Tulisan yang belum diterbitkan. Denpasar, 1983. Koleksi Puri Satria, Denpasar. Ardhana, I Ketut. Kerajaan Badung dalam Konteks Kolonial Belanda 1827-1906. Denpasar: Fakultas Sastra, 1991. _______________. „Balinese Puri in Historical Perspective: The Role of the Puri Satria and Puri Pamacutan in Social and Political Changes in Badung, South Bali 1906-1950. “Master Thesis. Canberra: The Faculty of Asian Studies, The Australian National University, 1993. _______________. „“Denpasar as Administrative Centre“, Makalah disampaikan pada International Workshop “Bali Modernity Project Wollongong Workshop” 10-11 July 1995. ______________. „Labour Workers Movement in Bali in the Twentieth Century“ Paper dipresentasikan pada International Workshop, “Reconstructing the Historical Tradition of Twentieth century Indonesian Labour”, pada tanggal 4-6 Desember 2001, Bali Indonesia. _______________. Pengembangan Industri Pariwisata Berbasiskan Budaya Lokal di Bali. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, 2002. ______________. “Local Wisdom and Government Policies on Sustainable Agriculture: The Case of Bali”, dalam I Ketut Ardhana, Yekti Maunati dan Erni Budiwanti, Sustainable Agricultural Development in Southeast Asia. Jakarta: Research Center for Regional Resources, the Indonesian Institute of Sciences, 2003. ______________. “Puri dan Politik: Reformasi Nasional dan Dinamika Politik Regional Bali” dalam I Nyoman Dharmaputra (ed.). Bali Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif. Denpasar: Pustaka Bali Post, 2004. Dwipayana, AAGN. Kelas-Kasta: Pergulatan Kelas Menengah di Bali. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001. “Denpasar, Kota Tanpa Urban Design”, dalam Koran Pak Oles, 59, I, Juni 2004. Gist, N. P dan S. F. Fava, Urban Society. New York, 1964. “Masalah Parkir Sangat Kompleks”, dalam Koran Pak Oles, 59, I, Juni 2004. Moll, J. J. E., Memorie van Overgave van den Resident op Bali en Lombok, Mei 1941. “Multikultur Kota Denpasar: Penampilan Fisik Minus Cerminan Budaya”, dalam Bali Post, 21 Februari 2004. Nas, P. J. M., Kota di Dunia Ketiga. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1979. Sjoberg, Gideon. The Preindustrial City: Past and Present. Totonto: The Free Press, 1960. 14 Warsilah, Henny. Golongan Menengah Bali Di Simpang Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, 1997. Wirawan, Anak Agung Bagus. “Tanah dan Perubahan Sosial di Bali 1882-1942”. Tesis S2 belum diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1985.